Asal Usul Desa Tawun
Desa Tawun kecamatan Kasreman kabupaten Ngawi adalah sebuah desa yang terletak sekitar 7 km dari pusat kota kearah timur. Sebagian besar penduduknya adalah petani dengan jumlah 10 dusun yaitu dusun Tawun 1, Tawun 2, Tawun 3, Tawun 4, Mencon, Beton, Bugel, Konten, Pucang dan Dari.
Desa Tawun mempunyai sebuah ritual adat bersih desa yang sudah sangat tersohor, yaitu ritual Keduk Beji. Ritual membersihkan sendang beji ini selalu dilakukan setiap hari Selasa Kliwon setiap tahunnya. Sendang Beji Tawun merupakan sebuah sumber mata air (sendang) yang tidak pernah kering meskipun di musim kemarau panjang.
Menurut legenda ritual adat ini bermula pada abad ke-15. Sahibul hikayah, Ki Ageng Tawun (disebut pula Ki Ageng Mentaun) menemukan sendang atau mata air yang kemudian dinamai Sendang Tawun. Di sekitar sendang (telaga) itu Ki Ageng Tawun dan istri menetap hingga dikarunai dua anak, yaitu Raden Lodrojoyo dan Raden Hascaryo. Keduanya memiliki kegemaran berbeda. Raden Lodrojoyo lebih suka bertani, sedangkan Raden Hascaryo lebih mendalami ilmu kanuragan dan berguru kepada Raden Sinorowito (putra Kesultanan Pajang).
Raden Hascaryo lantas diangkat menjadi senapati (panglima perang). Menyadari tanggung jawab berat yang dipikul Raden Hascaryo, Ki Ageng Tawun memutuskan memberikan pusaka andalannya berupa selendang bernama Kyai Cinde sebagai bekal saat anaknya itu terlibat dalam peperangan antara Pajang dan Blambangan.
Di sisi lain, Raden Lodrojoyo memilih hidup bersahaja dan selalu dekat dengan rakyat kecil. Keinginannya yang cukup kuat untuk mengabdi pada kepentingan warga adalah bagaimana menjadikan mata air Sendang Tawun tidak pernah habis dan berhenti mengaliri sawah-sawah warga meskipun pada musim kemarau panjang.
Suatu hari, tepatnya Jumat Legi, setelah memohon izin ayahnya, Raden Lodrojoyo bersemedi dengan tapa kungkum (bertapa sambil berendam dalam air) di Sendang Tawun memohon petunjuk Yang Maha Kuasa agar diberi kemudahan membantu warga yang kebanyakan kaum petani. Tengah malam saat menjalani tapa kungkum, Raden Lodrojoyo dikagetkan oleh suara ledakan menggelegar.
Warga juga kaget dan berhamburan ke luar rumah. Mereka berbondong-bondong menuju ke sendang, asal ledakan, tapi kemudian kaget bukan kepalang. Mata mereka terbelalak sambil penuh keheranan menyaksikan Sendang Tawun telah berpindah tempat ke sebelah utara dengan posisi yang lebih tinggi dibandingkan areal persawahan warga. Tak ayal, air sendang itu pun deras mengaliri sawah-sawah warga
Ketika warga bersukacita menyaksikan areal sawahnya teraliri dan tidak lagi cemas kekeringan di musim kemarau, justru saat itu keberadaan Raden Lodrojoyo raib dan tidak ditemukan. Air di sendang dikurasnya hingga dasarnya tampak. Namun, jasad Raden Lodrojoyo tidak pernah ditemukan. Meski demikian, warga terus mencarinya hingga menginjak hari Selasa Kliwon. Masih juga jasad sang raden tidak didapatinya.
Untuk mengenang kejadian dan jasa Raden Lodrojoyo, hingga kini setiap tahun di Taman Wisata Tawun selalu diadakan ritual bersih desa, tepatnya bersih sendang, pada hari Selasa Kliwon. Dan ritual ini lah yang kini dikenal dengan Ritual Adat Keduk Beji Tawun.
Selain wisata ritual Keduk Beji, Desa Tawun juga memiliki keunggulan sebagai lokasi berkembang biaknya habitat bulus (hewan menyerupai kura-kura, namun batok penampangnya lebih besar). Bulus merupakan hewan langka, karena menjadi satu-satunya spesies kura-kura yang bisa hidup di air tawar. Hewan ini hidup di sendang beji dan sepanjang aliran air yang bersumber dari sendang.
Kini sepanjang aliran air sendang, diresmikan sebagai lokasi konservasi hewan bulus ini. Dan dijadikan sebagai tempat wisata baru di Desa Tawun. Di saluran air ini, pengunjung bisa melihat lebih dekat hewan bercangkang ini dan berinteraksi langsung dengan memberi makan hewan tersebut.